Pages

Friday, January 4, 2013

Sampah Ooh Sampah


Dahulu kita mengenal ‘banyak anak banyak rejeki’, pepatah lama yang sudah mulai ditinggalkan. Naah sekarang kita dihadapkan pada kenyataan banyak sampah berserakan di depan rumah, di tempat penampungan sementara, bahkan hingga tempat yang tidak seharusnya dijadikan tempat pembuangan sampah. Apakah juga bisa berarti banyak rejeki??

Banyak lalat si iya, lalu muncul belatung dalam jumlah banyak pula, terus belatung-belatung tersebut berkembang menjadi lalat juga. Jadi artinya banyak sampah banyak lalat.

Pada berbagai media lokal baik online maupun cetak dapat kita temui bahwa sepanjang tahun 2012 lalu, pengelolaan sampah di Kota Batam mencapai titik terendahnya. Bahkan kita tidak perlu melakukan survey atau penelitian ke lapangan. Cukup hanya dengan berjalan santai, bisa sambil berangkat kerja atau sekolah sambil melihat sekeliling, terutama di tepian jalan yang kita lalui setiap hari, kita pun akan menemui pemandangan yang ‘wahh’. Perlu contoh?

Nohh....

Lokasi area Batu Aji

















Masih kurang?
Nohh..

Lokasi area industri Batam Center

















Mau lagi??
Monggo..

Lokasi area Kecamatan Bengkong



















Masih mau nambah lagi??
Yukk..
Lokasi area Tiban



















Seluruh foto diambil di Kota Batam, Propinsi Kepulauan Riau. Kota dengan ribuan perusahaan mulai dari skala mikro hingga international class. Kota dengan tagline ‘Menuju Bandar Dunia Yang Madani’. Kota yang tiap pagi sibuk dengan lalu lalang pengguna jalan raya yang mayoritas pekerja dengan jadwal serupa (08.00 – 17.00 wib). Kota yang pada hari dan jam berangkat dan pulang kerja selalu mengalami kemacetan yang (hampir) menyerupai Jakarta. Kota yang ketika diguyur hujan selama lebih dari 4 jam berturut-turut akan berdampak banjir di beberapa lokasi. Kota dengan target PAD sebesar 1,2 triliun rupiah pada tahun 2012 lalu. Fantastik kan?

Namun mengapa untuk satu hal yang esensial, krusial dan sederhana justru Kota tersebut terkesan leh-leh luweh (acuh tak acuh – Jawa)?
Seperti halnya ketika kita survey suatu pondokan, kost ataupun kontrakan, tentu ruang yang kita review pertama adalah kamar mandi, sebagus apapun rumah namun jorok kamar mandinya tentu akan memberikan image negatif, bukankah begitu?

Demikian juga dengan image sebuah kota. Tentu kita masih ingat dengan image Kota Bandung yang anjlok gara-gara sampah yang berserakan di beberapa ruas jalan kota pada beberapa tahun yang lalu. Lalu kini sebagai warga yang berdomisili di Kota Batam, kami disuguhi menu serupa..... SAMPAH.

Berdasarkan MoU yang antara Pemko Batam, Bappenas dan perusahaan swasta, penanganan sampah Kota Batam dilakukan oleh ketiga pihak tersebut dengan porsi kerja yang diatur dalam MoU itu. Warga setiap bulannya dipungut biaya kebersihan dengan nominal berbeda antara area satu dengan lainnya, kebetulan tempat tinggal kami dipungut Rp. 15.000,-. Begitu juga dengan area business centre, area industri, pasar modern serta pasar tradisional, masing-masing dengan tarif berbeda. Namun yang terjadi dalam kurun waktu 2012 sungguh merupakan hal yang memprihatinkan (jika tidak mau disebut menjijikkan). Bayangkan saja, di tempat tinggal saya sampah diambil oleh dengan truk sampah (seperti biasa) hanya 2 kali dalam sebulan, padahal berdasarkan sosialisasi Pemko, pengambilan sampah dilakukan 2 kali dalam seminggu. Kemudian ketika si pemungut bayaran datang dan kami mencoba menyampaikan keluhan, pegawai tersebut malah menjawab dengan nada tinggi dan ujung-ujungnya malah seperti orang yang bertengkar.

Dengan realita seperti itu yang kemudian ditambah dengan ekspos media lokal pun Pemko seolah tak mendengar dan hanya memberi tanggapan-tanggapan normatif-birokratif-repulsif. Tentu saja tanggapan tersebut menyulut kemarahan sebagian warga. Sebagian ada yang memilih membakar sampahnya, membuang di tempat penampungan sementara, hingga membuang di tepi jalan raya karena tempat penampungan sementara tidak mampu memuat lagi, bahkan dalam beberapa surat warga, ada yang mengancam akan mengkoordinir warga untuk mengumpulkan, mengangkat dan membakar sampah mereka di depan kantor DKP (Dinas Kebersihak dan Pertamanan) Kota Batam.

Hingga akhir 2012, kondisi masih sama saja, sama sekali tidak berubah dan masih saja menjijikkan. Sebagai warga yang bijak (karena taat pajak) saya berharap Pemko selaku eksekutor pemerintahan lokal mampu dan mau mengambil keputusan yang solutif seputar per-sampah-an di Kota ini. Karena ketika kota dibaratkan rumah, kebersihannya menunjukkan pribadi penghuninya.