Kesenjangan memang bisa terjadi di belahan bumi manapun, di
bawah kendali kepemimpinan siapa saja, di wilayah manapun, bahkan di bawah
paham apapun. Sedikit menyegarkan ingatan saya pribadi, pada rentang tahun 80’an
hingga medio 90’an, di negara tetangga kita Philipina yang notabene sistem
pemerintahannya copy-paste Amrik punya, terdapat istilah 80 – 20 yang cukup
beken kala itu. Angka tersebut muncul disebabkan oleh kesenjangan yang
fantastis dan turun-temurun terutama dalam hal kepemilikan lahan/ tanah dimana
80% penduduknya hanya menguasai 20% lahan sedangkan 20% penduduk lainnya
menguasai 80% lahan. Huwebatt kan?!! Bahkan mungkin kondisi tersebut belum
banyak berubah saat ini.
Beda cerita dengan negara kita yang menganut sistem
pemerintahan yang berbeda dengan Philipina, beberapa orang mampu mengkoleksi puluhan
tas jinjing dengan banderol 80’an juta per item, sementara pada waktu yang
bersamaan puluhan orang di pinggiran pasar kota besar mengkoleksi beras yang
berjatuhan dari truk yang membongkar muatannya untuk kemudian dimakan atau
dijual. Luar biasa bukan?!
Sebab musabab serta asal muasal sehingga menjadi seperti itu
kiranya bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan teori, entah itu komparasi
sistem pemerintahan, pembangunan, pemerataan penduduk, bahkan pola pikir
masing-masing negara. Setidaknya uraian singkat tersebut cukup mewakili
pernyataan pembuka bahwa kesenjangan memang bisa terjadi di manapun.
Belakangan ketika membaca berita melalui portal online, saya
menemukan ulasan tentang kesenjangan yang juga mengundang ‘decak kagum’ sambil
mengelus dada. Hongkong yang resmi ‘dimerdekakan’ pada tahun 1997 ternyata
memiliki problem yang sama. Berdasarkan data instansi terkait di negara
tersebut, sekitar 210 ribu penduduknya tinggal dalam ‘apartemen’ berukuran 1,4
meter persegi yang berbatas pagar besi karena mereka berada dalam daftar tunggu
penyewa rumah susun subsidi.