Pages

Wednesday, February 15, 2012

Valentine dan Kondom

Mulai dari coklat, sendal jepit pink, apparel yang dijual dalam paket "couple", kondom edisi spesial dan yang terakhir adalah mixed package berupa coklat+kondom.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyesalkan peredaran coklat yang dijual secara bersama-sama dengan kondom di sejumlah minimarket. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Pemerintah menarik paket coklat valentine yang berhadiah kondom. Paket tersebut dijual secara bebas di sejumlah supermarket dan minimarket di kota besar.
“Saya baru menerima laporannya baru berapa jam yang lalu, itu ditemukan di beberapa daerah, seperti di supermarket di Jakarta Selatan, Geger Kalong Bandung, Depok, Medan, Manado. Saya mau membuat surat edaran kesemua instansi terkait, seperti pemilik supermarket dan pemda,” ujar Sektretaris KPAI M Ikhsan, Ahad (12/2/2012) dikutip liputan6.

Masyarakat masuk ke Kantor KPAI mengadukan adanya paket tersebut. Menurut Ikhsan, paket valentine tersebut dikhawatirkan akan dijadikan jembatan ajang seks bebas dikalangan remaja. “Karena valentine dirayakan remaja, ya anak SMP, SMA, bahkan SD. Biasanya meraka akan saling berbagi paket, sama aja menyuruh melakukan seks bebas. Dikhawtirkan jadi ajang seks bebas,” jelasnya.

Perlu diketahui, dalam rangka memperingati hari valentine 14 Februari, telah tersebar produk paket coklat dengan kondom dalam satu bingkisan. Paket tersebut dijual bebas di beberapa daerah di kota-kota besar di Indonesia. "Paket isi kondom itu harus segera ditarik sebelum semakin meluasnya perzinahan dikalangan masyarakat terutama remaja". Sebelumnya, redaktur muslimdaily.net menemukan foto melalui akun twitter Felix Siauw, pada (9/2) paket cokelat isi kondom yang beredar di salah satu minimarket di Bandung. Menurutnya, foto tersebut bukan rekayasa dan sudah dicek kebenarannya. “Awalnya saya juga kira begitu (palsu – red), tapi teman saya di Bandung akhirnya konfirmasi bahwa mereka saksi dan melihat sendiri”, tulisnya di akun @felixsiauw.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyesalkan peredaran coklat yang dijual secara bersama-sama dengan kondom di sejumlah minimarket. Ketua MUI, Amidhan, mengatakan, jika temuan itu benar maka minimarket itu perlu diboikot. ”Jadi kita belanjanya di pasar tradisional saja,” katanya, di Jakarta, Ahad (12/2) malam, sebagaimana dikutip dari republika.

Bagi MUI dan kalangan extrimis kanan tentunya hal ini adalah sebuah kecolongan besar yang kemudian bisa dijadikan peluang untuk mengajukan tuntutan dan rekomendasi kepada pemerintah. Dengan kata lain pada momen seperti inilah saatnya bagi mereka mencari simpati masyarakat dengan menyajikan hasil temuan-temuan mereka melalui media. Ajakan MUI untuk memboikot supermarket dan minimarket dengan seruan "..kita belanja di pasar tradisional saja.." tampaknya sudah pernah menjadi tren masyarakat pada awal menjamurnya industri retail di negara kita sampai kita pun akrab dengan istilah "quo vadis pasar tradisional". Dengan begitu tentunya kita berhak bertanya "siapa yang sebenarnya bermain dalam upaya pembentukan opini publik ini?; kenapa hal semacam ini terus saja terjadi setiap tahun?; kenapa tidak ada upaya khusus dari otoritas (pemerintah) untuk menghentikannya?".

Dari kacamata bisnis kita bisa mengatakan setiap tanggal bisa dibuat istimewa untuk kemudian dijadikan ajang promo. Tapi terlepas dari siapapun yang sebenarnya menangguk keuntungan dari fenomena semacam ini, konsumen lah yang pada akhirnya dituntut (dan biasanya dihimbau) untuk lebih cerdas. Sekali lagi layaknya label di seat pesawat yang kita naiki yang selalu ditempeli stiker "mohon dijaga barang bawaan anda kami tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan" yang berarti konsumen adalah pihak yang harus bertanggung jawab meski masih di bawah umur.